Sabtu, 08 Desember 2012

Novel Hatinya Tertinggal di Gaza

Novel "Hatinya Tertinggal di
Gaza"
Kekuatan Baru Sastra
Indonesia

JAKARTA - Pengamat sastra
Indonesia, Eka Budianta menilai
novel berjudul "Hatinya
Tertinggal di Gaza", karya
Sastri Bakry tidak bisa
dikatakan murni sebagai novel
dengan landasan fiksi karena
novel ini berbanding seimbang
dengan bentuk-bentuk karya
jurnalistik yang kuat dengan
reportase.
"Ada upaya serius dari penulis
untuk menggambarkan detail
tentang lembaga-lembaga dan
gedung resmi pemerintahan dalam
novel ini. Mengacu pada
spesifikasi novel yang kita
persepsi selama ini, maka
'Hatinya Tertinggal di Gaza'
secara tekstual tidak lagi bisa
dikatakan sebagai novel," kata
Eka Budianta, saat bedah novel
"Hatinya Tertinggal di Gaza", di
Pusat Dukomentasi Sastra HB
Yasin, Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jakarta, Jumat (6/5).
Kalau pihak-pihak tertkait
dengan lembaga resmi yang
digambarkan dalam novel
tersebut tidak setuju, lanjut Eka
Budianta, jelas akan menimbulkan
perkara dan penulis bisa dituntut.
"Tapi terlepas dari itu semua,
disamping penggambaran detail
lembaga-lembaga resmi sebagai
sebuah kelemahan, saya juga
menempatkan penggambaran
detail itu sebagai sebuah
kekuatan baru dari karya Sastri
Bakry ini," ujar Eka Budianta.
Hal lain yang juga tidak kalah
penting dari kehadiran novel ini
adalah mendalami substansi
kenapa dan untuk apa novel ini
ditulis oleh Sastri. "Nampaknya
novel ini terapi efektif bagi
penulis untuk penyembuh situasi
dan kondisi psikologi yang lemah
menjadi kuat serta diharapkan
penulis sebagai media pendidikan
bagi siapa pun yang membacanya
dan novel ini telah menetapkan
Sastri Bakry sebagai novelis
Indonesia yang memperkaya
khasanah sastra nasional dan
Asean."
Kemampuan penulis dalam
memaparkan detail setiap
lembaga resmi tentu sangat
dipengaruhi oleh pengalaman dan
perjalanan hidup Sastri Bakry
yang luar biasa, termasuk
pengalaman batin dan spiritual
ditinggal suami.
"Hatinya Tertinggal di Gaza
sekaligus menawarkan bagaimana
semestinya seorang perempuan
yang ditinggal suami untuk bisa
menjalani kebelangsungan hidup
yang masih panjang. Mungkin,
kalau Sastri Bakry tidak
ditinggal suaminya
(meninggal,red), agaknya novel
ini tidak akan pernah selesai.
Jadi ini sebuah gambaran
interaksi penulis dengan alam,"
ungkap Eka Budianta.
Di tempat yang sama, analis
sastra Leon Agusta menyebut
'Hatinya Tertinggal di Gaza'
sebagai satu buku yang
semuanya diproses dengan
tergesa-gesa. "Ini terkesan
semuanya serba bergegas hingga
nyaris menjadi buku, tapi uniknya
karya Sastri Bakry lebih terang-
benderang dibanding novel yang
sesungguhnya dalam
menggambarkan sesuatu," tutur
Leon Agusta.
Lebih lanjut dikatakannya,
pengarang hanya hadir di draft
awal cerita. Tapi pada draft
finishing, kekuatan dan kecirian
pengarang teredusi. "Mestinya,
dalam sebuah novel yang
terbilang baik, penulis harus
selalu hadir secara utuh dan
jangan hanya sampai di draft,"
tegas Leon Agusta

0 komentar:

Posting Komentar